Minggu, 24 Juni 2012

Perbatasan Fatalis

Sedikit pengantar  yang tersampaikan.


Ini adalah sebuah catatan
kecil tentang kehidupan yang erhasil saya rekam melalui kata-kaa yang teruntai
dalam larik dan bait. Serta semoga pada akhirnya pantas disebut sajak atau
puisi. Paling tidak ini mewakili semua yang terjadi dalam kehidupan sebagian orang dan mugkin
di dalamnya termasuk saya.
Gambaran pelbagai pikiran dan rupa-rupa kejadian yang berkumpul menjadi satu saya
masukan dalam catatan ini. Meskipun disadari atau tidak tetap tidak dapat
mewakili keseluruhan kehidupan manusia.  Tetapi paling tidak saya telah berhasil memotret kemudian menuangkannya  dalam  bentuk tulisan.  Akhirnya semoga catatan kecil ini dapat menjadi bahan bacaan yang  mampu memikat  hati paling tidak mengundang orang penasaran membacanya.


Giriloka  Arya







BILA

Mati  itu sunyi
Seperti desir angin
Mengusap  dedaunan dalam
keringat malam

mata membagi duka
 lewat  irisan luka
lengking-lengking kesedihan
melesat menusuk sanubari

ini hati  punya rasa telah mati
sisi lain  telah bertepi
dalam dua pilihan  kau berdiri





PASAI

Kemarin malam  bulan dan bintang
Diperkosa  angin yang memaksa
Tanpa suara

 Hari ini bulan dan bintang
 jadi bunting dan awan
serta hujan saling berbisik
bergunjing

 Besok
 Hari menjadi gelap
Sebab matahari mati berdiri



LEPAS

 Surya
Sinar
Nestapa
Rembulan
Redup
Termangu
Senja
Tunduk
Mengantuk
Pagi
Berlari



SETRA

Perlahan jenuh menghalau suara
 Dalam hatiku
Pikir  menuntunku
Mengingat seraut wajah
Jalanan sunyi, angin lirih berbisik

Setra……
Ingatku  menuntun khayal
Pada ikatan cerita berbalut nestapa

Rinduku tak sekedar
Menyebut namamu

Malamku  dingain
 Serupa senyum di bibirmu

 Larik ini untukmu



SETRA
II

Malam
Lalu
Pelukan  angin
Mendekap erat

Sunyi
Menikam duka

Sepi  menusuk malam
Setra….kau di mana,




SETRA
III

Aku baca  larik
Dalam sajakmu
Lalu aku diam
Dalam ucapmu
Setra……
Aku rindu menatap surga
Di matamu
Dan biarkan aku
Menggapainya.    




 SAJAK TIGA LARIK

LARIK PERTAMA AKU  MEMUJI TUHANKU
LARIK KEDUA  AKU TULIS NAMAMU
LARIK KETIGA KATAKU TAK BERSUARA



 
PERJALANAN  SEPARUH MALAM

Telah separuh malam
Kucari jejak Tuhanku

Telah  beratus jejak kususuri
Dalam sunyi
Dan kegelapan

Telah separuh  malam
Ku tapaki jejak-jejak itu
 Tak lekang kucari
Tuhanku





SAAT  ITU


 Duduk Sendiri
Menatapi waktu berlari

Diam terpaku
Memaknai kata tak bersuara

Tersenyum
Ikuti jejak lamunan
Telusuri alam mimpi
Menembus khayal  tak berbatas

Tinggalkan semua luka
Tanggalkan semua  sengsara
Tertawa dalam bayangan.  


PERCAKAPAN MALAM

Bulan …. Itu
Tidak berganti rupa
Hanya mata kita saja
yang tak mampu memandang
 dalam  kegelapan

sia-sia saja
berkata pada logika
sebab  dia punya rasa
telah lama  lena dihujam
 petaka kata-kata

Bulan itu
Tidak berganti rupa
Hanya langit yang berganti warna
 ketika pagi menjelang




CEMPAKA

 Lekatkan dalam hatimu
 Bila tiga hari yang lalu
aku menunggumu

tapi kini
kupu-kupu juga
enggan menungguimu
harusnya kau tau itu 





PASAI

 Berdirilah pada
 tumpuan di atas kakimu
serupa jelaga mengepul asap
itu pula hati  dan pikir
kau punyai



HUA……..!


Dua muka
Satu kepala
Dalam cerita
Empat mata
Mulut merangkai dusta


_______________?

           Bla………
            ____________________
            ______     ___________
            ____________   _______
            _____________________

                        ___________________________
                        ____    _____________________
                        ___________       _____________
                        ________    _________   _______
                        Oh……………!



TERATAI

Seperti hari  yang lalu
Matahari datang bersama gerimis

 Senandung lirik laguku
Menggigil dalam sunyi
Yang mendekap dingin hatiku

Di sisi  telaga
 Aku menatap waktu yang lalu

Waktuku telah  berlalu
Langkah membawaku pergi

Di sisi telaga teratai tertunduk
Menyesali  waktu yang  menuntunku
Meninggalkanmu

Seperti hari yang itu
 Matahari pergi dalam geimis




LAKUKAN

 Lupakan langkah terakhir
dalam hidupmu jelaskan padaNya
apa yang kau rasakan
sejak menatap matahari
pagi ini
jangan biarkan dirimu terjebak
dalam lingkaran perangkap
yang kau buat sendiri
waktu lalu




SEBAB KAPAS

Kapas putih
Tetapi rapuh
Kertas putih tetapi lusuh

Jiwa putih    ?
Apa enar sujud bersimpuh          ?

Hati keruh
Bisakah jadi putihatau
Setidaknya abu-abu saja

Sebab aku rindu  pada
Tuhanku




JALADRI

 Tak perlu bertanya lagi
Sebab tatap sudah berkata
Buat apa lagi suara
Bila hati saling  memahami

Jaladri mipir asih
 Gondewa mentang asmara
Hawa menebar suka
 Pelita memancar surga
Cinta pancar buana



IV

Sebab hanya menatap
Aku hanya bisa berharap

Sebab hanya diam
 Cinta ku harus terpendam

Sebab hanya mendamba
Hati hanya bisa memuja

Sebab hanya terpaku
Aku jadi termangu

Kau siksa aku
Tanpa suara





BUAT  APA    !

Anak hilang datang kembali
Dalam kembara  rindu memandu

Siapa sangka
Jalan mengibar neraka
Pergi tak berpamit
Pulang menggusur masalah

Pergi saja biar kau lusuh
Sebab patah arang berbara
Walau darah  itu satu sama
Tapi jiwa lain sukma beda raga




 DUA   X

Dua kali
Masa menunjang

Dua kali dua muka
Dusta menopang

Pergi juga kau memandang
Masa dulu tak pernah peduli
Sekarang kau datang

Mau apa    ?
Muak aku……….!




Brag……?

Aku membawa ingatku
Pada sepuluh tahun yang lalu
Sempat terpikir  untuk
Tidak mengingitmu
 Tapi kau begitu dekat saat itu

Seperti
 kejora dan rembulan
layaknya matahari dan sinarnya
tapi kini aku muak melihatmu
pulih aku membencimu



SUDAHLAH…..

 Bila saja hujan membalikan
Siang menjadi malam
Apa jadinya matahari
Bila tetutup awan

Puas kau
Menyiksaku dalam
Penantian tak berujung

Atau memang hari-hari ini
Akan selalu sepi





SE BERAPA JARAK ANTARA AKU DAN TUANKU ?

Bertahan dalam waktu
Aku menulis sajak-sajakku
Meski bosan berkata-kata
Aku rindu menyebut namaMu

Jarak… meski sudah
terlalu jauh tapi hatiku
kembali pada\Nya

setiap kali kudengar namaMu
hatiku tergetar dan ingin
memelukMu

tapi entah kaki surut
 melangkah sebab hati selalu
goyah

Aku rindu Tuhanku





Lho……/.!

Apa beda
Bertanya dan meminta
Kala datangnya bersamaan
Dalam satu perumpamaan
Yang kelewat abstrak,

Sejak menginjakkan kaki
Di bumi apa  pernah kau
bertanya   untuk apa ada
di sana

tidak.
Sama sekali tidak……
Tapi itu bukan urusanmu……..




AKUI  SAJA.!

Kau datang  dengan menangis
Antara hidup dan mati
Senyuman lekat di bibirnya
Meski  terkulai lemas
Memandangmu

Kau datang tanpa celana
Hanya berbalut darah dan
Plasenta

Jadi …..
Seharusnya jangan
 banyak bicara soal harta
sebab tak secuil pun  kau bawa saat tiba di dunia




 MANUSIA

Tujuh belas kali  kau dalam sehari
Seharunya  bersujud pada Nya
Bila  Dia tak menghendakimu
Pasti tak pernaha ada

Tapi apa lakumu sekarang
Apa kepalamu terlalu berharga
 Untuk kau lekatlan pada
 lantai langit miliknya

Merasai diri paling atas
Memandang kecil orang  di bawah sana
Padahal kau lebih kecil  kala mereka menatapmu
 Sadari itu
Jangan terlalu takabur….!




BIAR KUTEBAK MESKI TAK
BERJAWAB

 Bulan tak pernah
Berwarna hitam pekat
Dan matahari entah
Apa warnanya

Tetapi laut dan langit
Begitu biru dan dedaunan
Sepertinya hijau meski
Bunga-bunga  beraneka warna

Tapi satu sesalku
Tak pernah ku tau
Apa warna di hatimu
Meski aku mengenalmu….


SIAPA YA    ?


SEPERTINYA AKU MENGENALAMU
TAPI KAPAN AKU MULAI MENGENALMU

 RASA-RASANYA KITA PERNAH
BERTEMU TAPI ENTAH DIMANA

SEBAB AKU LUPA  SIAPA AKU SEBENARNYA
DAN KENAPA JUGA AKU
MERASA MENGENALMU
PADAHAL SEINGATKU
AKU TAK INGAT APA-APA




TANYAKAN PADA NYA

 Apa alasannya
Hari ini  terasa begitu
Senyap,

Padahal banyak
Orang lalu lalang
Lagi pula pesta belum
Reda bergelora

Tapi mengapa
Hampa makna

Apa karena
Sunyi itu menikam suka
Atau pesta terbius duka..



APA MAU MU?


Kau itu siapa
Tiba-tiba datang dan membuntuti
Waktuku

Datangmu tanpa permisi
Meski pada hari yang
 masih pagi

apa tak malu pada
matahari tiba-tiba
taburkan pesona

jangan harap
aku terpedaya
lupakan saja mimpimu itu.




 SEMAUMULAH…..!


Apa yang  kau tahu
Tentang semua yang dihadapamu
Jangan asal bicara
Sebab kau itu  hanya berdusta

Simpan saja
semua kata-kata
jangan  lagi kau mengucap
telingaku malu untuk mendengar
sebab tak pantas didengar

Kalau kau mau pergi
Ya pergilah…..
Jangan banyak bicara
Lakukan saja..!




 SISI LAIN MENUNGGU

 Jumat malam
Angin berhembus sedikit saja
Malam belum juga larut
Meskipun gelap terus
Bergelayut dalam hening
yang berkepanjangan

lelah menunggu
terkurung dalam penantian
 panjang yang tak kunjung
datang menghampiri

selama ini menanti
atau memang terus seperti ini.



DI ANTARA ILALANG DAN MELATI


Tak harus selalu Cemara
 yang berderai  tertiup angin
Bila ilalang mampu  bertahan
Dalam hempasan angin

Tak harus selalu mawar
Yang menebar wangi surgawi
Bila melati mulai bersemi
Menebar wangi aroma surga




LANGIT
MENUTUP REMBULAN TERTIUP ANGIN

Langit  menutup rembulan
Yang tak lagi sempurna bulatnya
Dan entah kemana awan pergi
Berarak tertiup angin

Mestinya  aku tau
Ketika tatap tajam matamu
Menikan sadarku betapa
Gemuruh dalam hatiku
Membuatku ragu untuk kembali
Menatap wajahmu

Kini ketika semua berlalu
Sesalku datang ketika waktu
Menuntunku meninggalkanmu

Langit menutup rembulan
yang tak sempurna bulatnya
Entah kemana awan pergi
Berarak tertiup angin  




KAU ITU

Lalu
Apa benar kau
Mencintai aku…!

Sebab kulihat ada ragu
Yang begitu dalam bersemayam


Bila saja kau yakinkan aku
Dengan cara apa
Kau bicara



 

COBA TANYAKAN PADA-NYA

Lakukan sesuatu
Untuk menyingkap gelap
Agar temaram tersibak
Dan menjadi terang
Meskipun
Takan
 Mudah untuk dilakukan
Dalam hitungan
Jarum yang berdetak
Seperti biasanya
Haya saja dalam
Kesendirian jiwa
Apa mungkin itu
Menjelma jadi nyata,


 SEHARUSNYA  TAK SEPERTI INI

Jika mlam ini
Berlau begitu saja
Lupakan pula setiap
Pengharapan yang kau tanamkan
Karena semuanya memang
Sia-sia tanpa guna

Tapi bila
Tidak juga hilang
Ketika  membelakangi purnama
Dan berhadapan dengan
Kilatan keemasan di antara
Temaram
Jangan salahkan perasaan
Sebab dia tak tau apa-apa



PERBATASAN

Jalanan tanpa manusia
Pada ujung sebuah malam
Tertatih-tatih
 berjalan  menahan kantuk
 dengan pakaian  kuyup
oleh hujan yang turun
 semalaman
rembulan pucat pasi
di hadapan matahari
yang datang  dengan tangisan
di antara
senyuman yang dipaksakan




   …………!


Katakan sesuatu
Tentang malam ini
Atau kau memang bisu
Mudah-mudahan tidak sama sekali

Jangan hanya diam
Dan berdiri di sisi
Berjalanlah ikuti
Jejak malam pergi



TERPATRI
PADA SATU SISI


 Lalu
Aku bertanya
Tentang waktu yang  telah
 mana dilewati bersama
angin dihadapan ilalang

Tapi
Tanyaku hanya
Lalu seperti angin
Yang tertunduk ketika
Berhadapan dengan ilalang

Pikir sunyi
Membagi mahari
Dengan irisan  kebencian
Pada sebuah luka


 

PECUNDANG

Rasa
Tak mesti  terucap,
Lewat kebasan pena lebih bermakna
Walau  rasa tak cukup hanya  sekedar
Kata-ktaa

Angin memutar pikir
Cinta menusuk rasa
Namun kecewa ada sebab
Hati tak saling memberi
Meski rasa telah meminta

Benarkah pena menikam
Menusuk jiwa menghantam perasaan

Saturday kau di htiku
Meski cuma harap
Dan damba
nyatanya









SEHARUSNYA
KAU TAU

Kau pasti bisa menghitung
Berapa banyak juma yang  jadi makna
Ketika memerah langit senja itu

Saat mengungkap  kata
Menjadi makana,
 mungkin kau tak bersuara
Pada helaan nafas yang kesekian kali
Pohonan gugurkan daunnya
Dan senja kali ini
Tak seperti  hari yang lalu
Pikirku mengembara
Mencati ketika untuk
Kembali bersama



LEMBAYUNG
I

Senja membalut pertemuan kita
Dengan angin yang sedikit
Berhembus

Sementara
Lembayung mewarnai langit
Serupa rona di pipimu

Seketika itu pula
Kau curi rinduku
Hanya dengan  senyuman di
Bibirmu



LEMBAYUNG
II


Hari itu
Berkali-kali angin menuntuku
Untuk menatapmu

Dan kau tau,
Telah kulihat surga di matamu

Kini
 biarkan aku berjalan
untuk menggapainya

sebab rinduku tak sekedar
selalu menyebut namamu



LEMBAYUNG
III


Dalam dekapan senja
Teratai tertunduk dihembus
 angin lalu

matahari kembali tenggelam
 dalam pelukan lembayung
dan aku duduk termangu
memandang senyuman itu

Ilalang menari dalam pelukan
 Angin meski sedikit ragu untuk
Membagi cerita dengan teratai
Yang tertunduk malu


FATALIS

MENATAP MALAM
DENGAN MATA YANG DIPAKSAKAN TERPEJAM
SAMA SEKALI BUKAN MENJADI
KEPUTUSAN UNTUK MEMILIH

LIUKAN ANGIN
MEMBURU KESENDIRIAN
DENGAN UCAPAN SELAMAT TINGGAL

BULAN SETENGAH SABIT
BINTANG TNPA KILAUAN
DAN LANGIT TERIRIS
KILATAN-KILATAN
GEMURUH MENITIKAN GERIMIS
DIANTARA CEMARA DAN RERUPUTAN KERING
YANG MENJADI LUSUH


Perbatasan
II

Tidak banyak hujan Yang turun ketika
Ufuk merona dan  rembulan
Menjadi pucat pasi
Hanya ada Dedaunan kering yang
Menjadi basah dan ranting-ranting
 yang semakin lapuk

sementara
lelaki berdiri memandangi kesunyian
dalam petikan dawai kecapi
diantara perasaan dan kenyataan yang
bertabrakan.



Untuk Bapak
(yang berpulang lima hari yang lalu)

Dalam tangis terakhir kutatap wajamu,
Dalam gerimis terakhir ku peluk engkau,
dalam sayatan perihnya luka kau pergi dengan sunyi. #03#2012#




Pelajaran Menyimak

banyak mendengar
sedikit menyimak
banyak menyimak
tidak menyimak
sedikit mendengar tidak mendengar




Pelajaran Menulis

banyak pakai tinta dan kertas
sedikit menulis
Banyak menulis
tidak menulis
sedikit pakai tinta dan kertas
awet tinta dan kertas

Mbeling

(MBELING) Pinter kabalinger -Mudah-mudahan bisa dikatakan MBELING-
Sekedar Bersuara untuk membuka mata dan semoga ada hikmahnya

Tahukah kamu?

Ini puisi
bukan sajak
yang ini dihargai
yang itu diinjak-injak

#Giriloka Arya#12#2012#




Seorang murid bertanya
pada GURU bahasa dan sastera

Pak,
Bolehkah ini
kusebut SAJAK ?

#Giriloka Arya#12#2012#




Masih tak tahukah kamu?

yang ini puisi
nah kalau itu sajak
yang ini dicacimaki
yang itu diacak-acak sampai koyak

#Giriloka Arya#12#2012#



 
Masih Celana

Dalam celana
Ada celana dalam
Ada dalamnya celana juga

#Giriloka Arya#12/2011



Masih Tentang Celana II

Lelaki:
“aku mau ke surga di
dalamnya celana dalam
yang berwarna merah muda”

Permpuan:
“silahkan saja
Asal bayar tiket
sesuai biayanya”

#Giriloka Arya#12/2011#




Wah masa begitu?

Aturan itu cuma buat rakyat
jangan ngatur penguasa
nanti bisa disiksa
kan celaka
jadinya

#Giriloka Arya#12/2012#





Ini dan Itu

ini mau itu
tapi itu tak ingin ini
ini bilang begitu
eh itu bilang begini

Sepak bola jadi bola sepak
Numpuk ini tak sedikit itu
menyanyi begini mengerutu begitu

#Giriloka Arya#01/2012/#




Cita-cita I

Bikin puisi cukup imajinasi
Bikin skripsi ada transaksi
Jadi sarjana berapa harganya

#Giriloka Arya#01/2012/#




Cita-cita
(bagian II)

Selesai Transaksi skripsi
jadi juga sarjana
sudah kerja
memakai dasi
lupa bercelana

#Giriloka Arya#01#2012#




Cita-cita
(bagian III)

Kuliah jalan-jalan semata
Skripisi tinggal dibeli
yang penting
saat wisuda gagah memakai TOGA

#Giriloka Arya#01#2012#



Cita-cita
(IV)

Mari bikin puisi
sebab skripsi bisa dibeli
makanya jadi sarjana buta aksara

#Giriloka Arya#01#2012#



Anggap saja

Tak usah pusing
Anggap saja ini mbeling
Tak perlu penjelasan yang merepotkan

#Giriloka Arya#12/2011


Prisma Keping Recehan


Nyatanya
ada sisi ketiga
dalam keping mata uang
Ia serupa topeng menutup
borok wajah yang agung
serupa jelaga kata-kata
menutup malam
yang buta

#Giriloka Arya#01/2012
 
 
 
Tentang  Cinta I

Suatu hari
Nafsu berbisik pada hati
“Cinta hanya ada
Antara dada dengan paha”


 #Giriloka Arya#02/2012


Tentang  Cinta II

Kau tahu...
Apa arti cinta sesungguhnya?
“Dia adalah perminan kebutuhan”

  #Giriloka Arya#02/2012
Enam tahun lalu saya tulis cerita ini, hanya saja  beberapa hari yang lalu seorang berkata "cerita yang dulu kau tulis kini kau alami sendiri" . Ya, kisah hidup memang bukan hal yang dapat diprediksi sebelumnya tapi apakah ini sebuah kebetulan yang disengaja atau bahkan  sangat tidak disengaja, hahahahaha............ lalu saya berguman "makanya jangan asal tulis cerita!" dan inilah cerita yang dimaksud.



(senja begitu indah, matahari  di kaki hangat sinarnya merah merona dengan tebaran awan di sekitarnya. Di tepian sebuah danau bunga-bungan teratai mekar meski tersembunyi dibalik
ilalang. Tak jauh dari tepian danau sebuah kursi taman menghadap  ke danau itu disebelahnya berdiri tegak sebuah lampu taman berbentuk bulat. Di sisi lain sebuah bangku taman
membelakangi danau mengahap ke arah lain. Dalam pada itu Rahma duduk di kursi
taman menghadap ke tepian danau dengan wajah yang tertunduk penuh kegelisahan. Sementara
gusti berdiri di tepian telaga membelakangi Rahma sambil menghisap rokok).

Rahma   :
 (mengangkat mukanya dan
seolah berbicara pada diri sendiri) “Meski kau tersembunyi di balik ilalang
kau tetap mempesonakan aku”.

Gusti  :   
“Kau berbicara seakan teratai sengaja menyembunyikan sesuatu
darimu (menghisap rokoknya sambil menatap
langit)”.

Rahma  :   
“Akan tetap ku tunggu sampai tabir ilalang terbuka oleh riak air (penuh keyakinan dan pengharapan meski masih ada ragu dalam ucapannya).

Gusti   :   
(menghampiri Rahma lalu duduk di sampingnya dan berkata) “Serupa teratai mekar dikala senja,tersembunyi bukan atas keinginan sendiri”
Rahma    :   

“Tersembunyi karena ia mekar saat senja tiba. Serupa apa yang
terjadi dalam jiwaku (bersandar di pundakGusti).

Hilman     :   
(berjalan menuju tepiantelaga sambil berkata) “gejolak jiwa tak perlu bersembunyi bila ia memang
ada maka biarkan dia mekar serupa teratai meski saat senja tiba”.

Rahma   :   
“Tetapi mengapa ia harus hadir saat senja ? mengapa kasih itu datang pada saat satu hati telah mengisi jiwaku ?” (menatap kearah Gusti yang berusaha untuk tetap dingin).

Hilman         :
“Tanyakan pada hatinya, sebab kasih dan cinta datang tanpa harus   memilih waktu, ia seperti teratai yang kau lihat senja ini. (menoleh pada Rahma dan Gusti)

(Sejenak suasana menjadi hening tanpa suara).
Gusti   :  
(beranjak dan berdiri melangkah ke tepian telaga).

Hilman                  :   
(melangkah meninggalkan tepian telaga dan kemudian duduk di bangku yang membelakangi telaga dan ketikaberpapasan ia menepuk pundak Gustiseraya berkata) ”jangan biarkan senja ini pergi begitu saja.”

Gusti    :   
(tersenyum dan kembali menghisap rokok).
Rahma     :  
  “Berapa lama kau akan bertahan di sana tanpa jawaban ? (mencoba untuk tidak terbata-bata)

Gusti        :
 “Bila harus aku berkata, jujur aku menyayangimu tapi kau bukan untukku begitu pula dengan waktu (seakan melepaskan beban berat menghembuskan asap rokok dari mulutnya)

Hilman    :   
“Setengah dari sebuah jawaban telah terdengar dengan jelas seperti langit dan rembulan yang merangkai temaram”.

Rahma      :   
(Tanpa mempedulikan Hilman)     “Tapi sisi lain di jiwamu ada untukku meski diselimuti ragu”.

Gusti       :   
 “Itu benar, tapi………

Taya    : 
   “Tapi kau tetap ragu untuk membuka jiwamu meski pikir dan hatimu sebagian telah kau
berikan padanya” (masuk dan mendekati Gusti, menoleh pada Rahma)
Gusti    :   

(tersentak kaget tapi tetap berusaha untuk tenang )”lebih baik kubiarkan ia mengalir serupa air, waktu
memiliki caranya sendiri untuk menyatukan hati.

Hilman :   
 “Tapi perasaan dan cinta bukan air yang mengalir” (melangkah pergi)

Taya    :   
 “Kau dengar ? Cinta bukanlah air  yang mengalir” (menepuk pundak  Gusti kemudian melangkah pergi).

Gusti   :   
(diam terpaku menatap langit).

Rahma  :  
(tertunduk dan menitikan air mata).

(suasana kembali hening tanpa suara tanpa percakapan diantara mereka, langit mulai berganti
warna, sementara lampu taman mulai menyala).

Gusti    :   
“Akankah ada sisi lain di jiwamu untukku” (melangkah mendekati Rahma dan duduk disampingnya)
Rahma    :    (meletakan kepala di pangkun Gusti) “ia akan tetap ada untuk mu”.

Gusti     :   
(Dengan lembut membelai rambut Rahma sambil menatap langit). “Jika saja tak harus samar tertutup
ilalang mungkin teratai akan lebih indah”

Rahma  :   
“Apa yang kau katakan bukanlah hal yang berbeda dengan pikiranku (mengangkat kepala seraya
menatap wajah Gusti diliputi rasa takut kehilangan).

Taya   : 
 (Datang dan kembali duduk
di kursi membelakangi telaga/danau).

Gusti    :   
 “Sebenarnya kita terjebak dalam alur yang sebenarnya tidak harus seperti ini (berdiri kemudian kembali
melangkah ke tepian telaga).

Rahma    :   
(Diam dan hanya mampu  menatap Gusti dan menahan tangis).

Gusti      :   
 “Kau menangis karena …….  (tidak tuntas berbicara karena Rahma semakin larut dalm tangisan dan berkata meskipun terbata-bata)

Rahma    :
 “Kau tau ? aku selalu menanti saat-saat seperti ini (tidak tuntas bicara)

Gusti       :   
 “Saat kita lebih dalam terjebak dan mengingkari kenyataan ! (menerawang jauh dan tetap berdiri di sisi
telaga)

Taya       :  
“Lebih dalam terjebak dalam perangkap yang dibuat sendiri lebih sulit kau meninggalkannya.

Gusti    :   
 (Tertunduk dan menghela nafas panjang seakan menyesal kemudian kembali menatap langit)

Rahma  :   
 “Tapi itu kenyataan yang kita hadapi dan mampukah kita berdusta  pada kenyataan ?

Gusti      :  
  “Kenyataan yang seharusnya tidak terjadi ?”

Rahma    :   
“Apa mungkin ini seharusnya tidak terjadi nyatanya ini
benar-benar kenyataan yang harus kita hadapi.

Taya    :   
“Terjebak dan terkurung dalam perangkap lebih dalam bimbang tak berujung dalam pikiran
antara teman, sahabat dan kekasih atau apapun namanya.

Gusti    :   
 “Kau menangis dan aku terluka oleh kenyataan “

Rahma   :   
Adakah ini sebuah dosa bila kau menyimpan separuh hatimu di sisi
lain jiwaku dan begitu pula sebaliknya aku”

Gusti      :
“Dosa atau apapun namanya tak akan kembalikan malam ini hilang
tanpa kau di pelukanku (menghampiri Rahma kemudian duduk dan membelai rambut Rahma)

Rahma       :   
(Diam dalam pelukan Gusti dan memejamkan matanya).

Gusti        :  
  “Malam ini kau dalam pelukanku tapi esok dia akan membawamu pergi. “

Rahma    :   
 (mengangkat wajahnya dengan  rasa sesal mendengar perkataan Gusti)
“akan selalu ada ruang di hatiku untukmu”

Gusti     :   
(menghela nafas panjang dan
beranjak kembali meninggalkan Rahma yang diam terpaku) “Pulanglah padanya
biarkan aku sendiri mencumbui bayangmu “

Rhama                  :    (Terpaku dalam penantian yang tanpa kepastian)
Rahma    :   
 “Jika saja setiap kelopak mawar yang kau berikan dapat memberikan  jawaban yang lebih pasti” (menyentuh setiap kelopak mawar dengan jari jari tangannya)

Gusti        : 
 “Mungkin Kau benar tetapi bagaimana mungkin membagi pandangan ketika mawar dan  teratai mekar dalam waktu yang bersamaan”.

Rahma     :   
“Tak pernah kuragukan  kesetianmu dan kasih  yang kau berikan… Aku hanya…
(Tidak tuntas bicara)

(Telaga hening dan semua terdiam Rahma tertunduk dan diam. Sesaat kemudian Hilman datang dan
berjalan di tepian telaga dan berkata )

Hilman    :  
 “Seperti hari yang lalu, rembulan datang dalam gerimis, dan
langit tidak berganti rupa hanya mata kita saja yang tak mampu memandang dalam kegelapan”


Taya      :   
 (Bangkit dan berdiri berjalan menghampiri
Hilman, pada saat mendekati Rahma ia berkata)” lupakan langkah terakhir
dalam hidupmu jelaskan padanya tentang apa yang kau rasakan sejak menatap
temayum langit sore tadi, jangan kau biarkan rembulan kembali datang dalam gerimis (berdiri di tepi telaga dan  menerawang jauh ke cakrawala).

Rahma  : 
 “Aku mencintainya lebih dari sekedar aku mencintai seseorang lebih dahulu mengisi
jiwaku  begitu pun dengannya dan dia   mengetahuinya dengan sepenuh hati”.

Hilman : 

(menoleh  ke arah Rahma) “Kenyataanya kalian saling mengasihi meski kalian tahu sendiri
tidak mungkin untuk bersatu”

Taya :
 (pergi duduk  di bangku yang membelakangi danau)

Hilman    :   
“Lalu apa yang akan kau lakukan dengan semua ini sebab semuanya
tidak akan terselesaikan hanya dengan tangisan’

Rahma     :
(berdiri  dan mendekati tepian danau lalu duduk di tanah sambil memetik ilalang dan
mempermainkannya) Kau temanku, dan kuau dia sahabatmu sejak dulu……”

Hilman    :
“lalu Aapa maksudmu?”

Rahma   :   
“Kau  mengetahui kami saling menjimpan kasih dalam jiwa kami. Aku dan dia serupa
belahan jiwa yang murni oleh kasih meski tak mungkin bersatu…”


Hilman  :   
 “jadi…..?”

Rahma   :
“Jangankau biarkan  kami tarpisah …”
 Hilman  :  
 “kau gila … Mana mungkin itu bisa kulakukan”

Rahma    :
 (Pergi tanpa mempeduikan Hilman yang sesaat
diam terpaku)

(tepian danau terasa hening  kembali beberapa saat kemudian Gusti datang dan berdiri di tepian danau)

Hilman        :   
 “Kau lihat Dia pergi dan menagis saat kau tinggalkan”

Gusti  :   
 “Dan itu yang akan terjadi jika dia  meninggalkan aku”

Hilman     :  
  “Itu karena Satu sisi di jiwamu telah kau berikan padanya
begitu  pula dengan dia”

Gusti   :   
“tetapi bila aku harus terus bertahan dengan semua ini  apa aku tidak akan menyakiti perempuan lain”

Hilman   :
“ Pada sisi yan lain pula satu hati wanita jelas kau sakiti tapi
bila kau berkata tentang hati dan waktu maka waktu memilikicaranya sendiri
untuk menyatukan hati dan itu yang kau katakan padanya.”

Gusti    :   

(Melangkan duduk di bangku yang menghadap tepian danau)
Taya  :
(Beranjak dari tempat duduknya dan melangkan kemudian duduk di dekat Gusti)

”satu sisi  jiwamu berada dalam kebimbangan untuk
memilih  dan yang lainya berada dalam ketegaran seorang lelaki meski itu kaupaksakan”

Himan   :
  “sesekali
dalam hidup, kita dihadapkan dalam pilihan meski itu menyakitkan tetapi
hiduptetap harus memilih meski cinta tidak seharunya jadi pilihan.”

(Beranjak pergi meninggalkan Gusti dalam kesendirian sementara itu Taya mengikuti Hilman seraya berkata)

Taya                     :
“Bertanyalah pada hatimu dengan sepenuh rasa di jiwamu  dan jawablah dengan nurani dan logika jika
kau benar menyayanginya”
(Danau sepi  malam semakin larut angin bertiup perlahan sementara Gusti diam dalan tannya
untuk mencari jawaban. Dalam pada itu Rahma kembali datang lalu duduk disampin
Gusti sesaat kemudian menyandarkan  kepalanya di bahu Gusti daann gusti membelai rambut rahma dengan penuh
kasih)



GIRILOKA ARYA. 050506