Sedikit pengantar yang tersampaikan.
Ini adalah sebuah catatan
kecil tentang kehidupan yang erhasil saya rekam melalui kata-kaa yang teruntai
dalam larik dan bait. Serta semoga pada akhirnya pantas disebut sajak atau
puisi. Paling tidak ini mewakili semua yang terjadi dalam kehidupan sebagian orang dan mugkin
di dalamnya termasuk saya.
Gambaran pelbagai pikiran dan rupa-rupa kejadian yang berkumpul menjadi satu saya
masukan dalam catatan ini. Meskipun disadari atau tidak tetap tidak dapat
mewakili keseluruhan kehidupan manusia. Tetapi paling tidak saya telah berhasil memotret kemudian menuangkannya dalam bentuk tulisan. Akhirnya semoga catatan kecil ini dapat menjadi bahan bacaan yang mampu memikat hati paling tidak mengundang orang penasaran membacanya.
Giriloka Arya
BILA
Mati itu sunyi
Seperti desir angin
Mengusap dedaunan dalam
keringat malam
mata membagi duka
lewat irisan luka
lengking-lengking kesedihan
melesat menusuk sanubari
ini hati punya rasa telah mati
sisi lain telah bertepi
dalam dua pilihan kau berdiri
PASAI
Kemarin malam bulan dan bintang
Diperkosa angin yang memaksa
Tanpa suara
Hari ini bulan dan bintang
jadi bunting dan awan
serta hujan saling berbisik
bergunjing
Besok
Hari menjadi gelap
Sebab matahari mati berdiri
LEPAS
Surya
Sinar
Nestapa
Rembulan
Redup
Termangu
Senja
Tunduk
Mengantuk
Pagi
Berlari
SETRA
Perlahan jenuh menghalau suara
Dalam hatiku
Pikir menuntunku
Mengingat seraut wajah
Jalanan sunyi, angin lirih berbisik
Setra……
Ingatku menuntun khayal
Pada ikatan cerita berbalut nestapa
Rinduku tak sekedar
Menyebut namamu
Malamku dingain
Serupa senyum di bibirmu
Larik ini untukmu
SETRA
II
Malam
Lalu
Pelukan angin
Mendekap erat
Sunyi
Menikam duka
Sepi menusuk malam
Setra….kau di mana,
SETRA
III
Aku baca larik
Dalam sajakmu
Lalu aku diam
Dalam ucapmu
Setra……
Aku rindu menatap surga
Di matamu
Dan biarkan aku
Menggapainya.
SAJAK TIGA LARIK
LARIK PERTAMA AKU MEMUJI TUHANKU
LARIK KEDUA AKU TULIS NAMAMU
LARIK KETIGA KATAKU TAK BERSUARA
PERJALANAN SEPARUH MALAM
Telah separuh malam
Kucari jejak Tuhanku
Telah beratus jejak kususuri
Dalam sunyi
Dan kegelapan
Telah separuh malam
Ku tapaki jejak-jejak itu
Tak lekang kucari
Tuhanku
SAAT ITU
Duduk Sendiri
Menatapi waktu berlari
Diam terpaku
Memaknai kata tak bersuara
Tersenyum
Ikuti jejak lamunan
Telusuri alam mimpi
Menembus khayal tak berbatas
Tinggalkan semua luka
Tanggalkan semua sengsara
Tertawa dalam bayangan.
PERCAKAPAN MALAM
Bulan …. Itu
Tidak berganti rupa
Hanya mata kita saja
yang tak mampu memandang
dalam kegelapan
sia-sia saja
berkata pada logika
sebab dia punya rasa
telah lama lena dihujam
petaka kata-kata
Bulan itu
Tidak berganti rupa
Hanya langit yang berganti warna
ketika pagi menjelang
CEMPAKA
Lekatkan dalam hatimu
Bila tiga hari yang lalu
aku menunggumu
tapi kini
kupu-kupu juga
enggan menungguimu
harusnya kau tau itu
PASAI
Berdirilah pada
tumpuan di atas kakimu
serupa jelaga mengepul asap
itu pula hati dan pikir
kau punyai
HUA……..!
Dua muka
Satu kepala
Dalam cerita
Empat mata
Mulut merangkai dusta
_______________?
Bla………
____________________
______ ___________
____________ _______
_____________________
___________________________
____ _____________________
___________ _____________
________ _________ _______
Oh……………!
TERATAI
Seperti hari yang lalu
Matahari datang bersama gerimis
Senandung lirik laguku
Menggigil dalam sunyi
Yang mendekap dingin hatiku
Di sisi telaga
Aku menatap waktu yang lalu
Waktuku telah berlalu
Langkah membawaku pergi
Di sisi telaga teratai tertunduk
Menyesali waktu yang menuntunku
Meninggalkanmu
Seperti hari yang itu
Matahari pergi dalam geimis
LAKUKAN
Lupakan langkah terakhir
dalam hidupmu jelaskan padaNya
apa yang kau rasakan
sejak menatap matahari
pagi ini
jangan biarkan dirimu terjebak
dalam lingkaran perangkap
yang kau buat sendiri
waktu lalu
SEBAB KAPAS
Kapas putih
Tetapi rapuh
Kertas putih tetapi lusuh
Jiwa putih ?
Apa enar sujud bersimpuh ?
Hati keruh
Bisakah jadi putihatau
Setidaknya abu-abu saja
Sebab aku rindu pada
Tuhanku
JALADRI
Tak perlu bertanya lagi
Sebab tatap sudah berkata
Buat apa lagi suara
Bila hati saling memahami
Jaladri mipir asih
Gondewa mentang asmara
Hawa menebar suka
Pelita memancar surga
Cinta pancar buana
IV
Sebab hanya menatap
Aku hanya bisa berharap
Sebab hanya diam
Cinta ku harus terpendam
Sebab hanya mendamba
Hati hanya bisa memuja
Sebab hanya terpaku
Aku jadi termangu
Kau siksa aku
Tanpa suara
BUAT APA !
Anak hilang datang kembali
Dalam kembara rindu memandu
Siapa sangka
Jalan mengibar neraka
Pergi tak berpamit
Pulang menggusur masalah
Pergi saja biar kau lusuh
Sebab patah arang berbara
Walau darah itu satu sama
Tapi jiwa lain sukma beda raga
DUA X
Dua kali
Masa menunjang
Dua kali dua muka
Dusta menopang
Pergi juga kau memandang
Masa dulu tak pernah peduli
Sekarang kau datang
Mau apa ?
Muak aku……….!
Brag……?
Aku membawa ingatku
Pada sepuluh tahun yang lalu
Sempat terpikir untuk
Tidak mengingitmu
Tapi kau begitu dekat saat itu
Seperti
kejora dan rembulan
layaknya matahari dan sinarnya
tapi kini aku muak melihatmu
pulih aku membencimu
SUDAHLAH…..
Bila saja hujan membalikan
Siang menjadi malam
Apa jadinya matahari
Bila tetutup awan
Puas kau
Menyiksaku dalam
Penantian tak berujung
Atau memang hari-hari ini
Akan selalu sepi
SE BERAPA JARAK ANTARA AKU DAN TUANKU ?
Bertahan dalam waktu
Aku menulis sajak-sajakku
Meski bosan berkata-kata
Aku rindu menyebut namaMu
Jarak… meski sudah
terlalu jauh tapi hatiku
kembali pada\Nya
setiap kali kudengar namaMu
hatiku tergetar dan ingin
memelukMu
tapi entah kaki surut
melangkah sebab hati selalu
goyah
Aku rindu Tuhanku
Lho……/.!
Apa beda
Bertanya dan meminta
Kala datangnya bersamaan
Dalam satu perumpamaan
Yang kelewat abstrak,
Sejak menginjakkan kaki
Di bumi apa pernah kau
bertanya untuk apa ada
di sana
tidak.
Sama sekali tidak……
Tapi itu bukan urusanmu……..
AKUI SAJA.!
Kau datang dengan menangis
Antara hidup dan mati
Senyuman lekat di bibirnya
Meski terkulai lemas
Memandangmu
Kau datang tanpa celana
Hanya berbalut darah dan
Plasenta
Jadi …..
Seharusnya jangan
banyak bicara soal harta
sebab tak secuil pun kau bawa saat tiba di dunia
MANUSIA
Tujuh belas kali kau dalam sehari
Seharunya bersujud pada Nya
Bila Dia tak menghendakimu
Pasti tak pernaha ada
Tapi apa lakumu sekarang
Apa kepalamu terlalu berharga
Untuk kau lekatlan pada
lantai langit miliknya
Merasai diri paling atas
Memandang kecil orang di bawah sana
Padahal kau lebih kecil kala mereka menatapmu
Sadari itu
Jangan terlalu takabur….!
BIAR KUTEBAK MESKI TAK
BERJAWAB
Bulan tak pernah
Berwarna hitam pekat
Dan matahari entah
Apa warnanya
Tetapi laut dan langit
Begitu biru dan dedaunan
Sepertinya hijau meski
Bunga-bunga beraneka warna
Tapi satu sesalku
Tak pernah ku tau
Apa warna di hatimu
Meski aku mengenalmu….
SIAPA YA ?
SEPERTINYA AKU MENGENALAMU
TAPI KAPAN AKU MULAI MENGENALMU
RASA-RASANYA KITA PERNAH
BERTEMU TAPI ENTAH DIMANA
SEBAB AKU LUPA SIAPA AKU SEBENARNYA
DAN KENAPA JUGA AKU
MERASA MENGENALMU
PADAHAL SEINGATKU
AKU TAK INGAT APA-APA
TANYAKAN PADA NYA
Apa alasannya
Hari ini terasa begitu
Senyap,
Padahal banyak
Orang lalu lalang
Lagi pula pesta belum
Reda bergelora
Tapi mengapa
Hampa makna
Apa karena
Sunyi itu menikam suka
Atau pesta terbius duka..
APA MAU MU?
Kau itu siapa
Tiba-tiba datang dan membuntuti
Waktuku
Datangmu tanpa permisi
Meski pada hari yang
masih pagi
apa tak malu pada
matahari tiba-tiba
taburkan pesona
jangan harap
aku terpedaya
lupakan saja mimpimu itu.
SEMAUMULAH…..!
Apa yang kau tahu
Tentang semua yang dihadapamu
Jangan asal bicara
Sebab kau itu hanya berdusta
Simpan saja
semua kata-kata
jangan lagi kau mengucap
telingaku malu untuk mendengar
sebab tak pantas didengar
Kalau kau mau pergi
Ya pergilah…..
Jangan banyak bicara
Lakukan saja..!
SISI LAIN MENUNGGU
Jumat malam
Angin berhembus sedikit saja
Malam belum juga larut
Meskipun gelap terus
Bergelayut dalam hening
yang berkepanjangan
lelah menunggu
terkurung dalam penantian
panjang yang tak kunjung
datang menghampiri
selama ini menanti
atau memang terus seperti ini.
DI ANTARA ILALANG DAN MELATI
Tak harus selalu Cemara
yang berderai tertiup angin
Bila ilalang mampu bertahan
Dalam hempasan angin
Tak harus selalu mawar
Yang menebar wangi surgawi
Bila melati mulai bersemi
Menebar wangi aroma surga
LANGIT
MENUTUP REMBULAN TERTIUP ANGIN
Langit menutup rembulan
Yang tak lagi sempurna bulatnya
Dan entah kemana awan pergi
Berarak tertiup angin
Mestinya aku tau
Ketika tatap tajam matamu
Menikan sadarku betapa
Gemuruh dalam hatiku
Membuatku ragu untuk kembali
Menatap wajahmu
Kini ketika semua berlalu
Sesalku datang ketika waktu
Menuntunku meninggalkanmu
Langit menutup rembulan
yang tak sempurna bulatnya
Entah kemana awan pergi
Berarak tertiup angin
KAU ITU
Lalu
Apa benar kau
Mencintai aku…!
Sebab kulihat ada ragu
Yang begitu dalam bersemayam
Bila saja kau yakinkan aku
Dengan cara apa
Kau bicara
COBA TANYAKAN PADA-NYA
Lakukan sesuatu
Untuk menyingkap gelap
Agar temaram tersibak
Dan menjadi terang
Meskipun
Takan
Mudah untuk dilakukan
Dalam hitungan
Jarum yang berdetak
Seperti biasanya
Haya saja dalam
Kesendirian jiwa
Apa mungkin itu
Menjelma jadi nyata,
SEHARUSNYA TAK SEPERTI INI
Jika mlam ini
Berlau begitu saja
Lupakan pula setiap
Pengharapan yang kau tanamkan
Karena semuanya memang
Sia-sia tanpa guna
Tapi bila
Tidak juga hilang
Ketika membelakangi purnama
Dan berhadapan dengan
Kilatan keemasan di antara
Temaram
Jangan salahkan perasaan
Sebab dia tak tau apa-apa
PERBATASAN
Jalanan tanpa manusia
Pada ujung sebuah malam
Tertatih-tatih
berjalan menahan kantuk
dengan pakaian kuyup
oleh hujan yang turun
semalaman
rembulan pucat pasi
di hadapan matahari
yang datang dengan tangisan
di antara
senyuman yang dipaksakan
…………!
Katakan sesuatu
Tentang malam ini
Atau kau memang bisu
Mudah-mudahan tidak sama sekali
Jangan hanya diam
Dan berdiri di sisi
Berjalanlah ikuti
Jejak malam pergi
TERPATRI
PADA SATU SISI
Lalu
Aku bertanya
Tentang waktu yang telah
mana dilewati bersama
angin dihadapan ilalang
Tapi
Tanyaku hanya
Lalu seperti angin
Yang tertunduk ketika
Berhadapan dengan ilalang
Pikir sunyi
Membagi mahari
Dengan irisan kebencian
Pada sebuah luka
PECUNDANG
Rasa
Tak mesti terucap,
Lewat kebasan pena lebih bermakna
Walau rasa tak cukup hanya sekedar
Kata-ktaa
Angin memutar pikir
Cinta menusuk rasa
Namun kecewa ada sebab
Hati tak saling memberi
Meski rasa telah meminta
Benarkah pena menikam
Menusuk jiwa menghantam perasaan
Saturday kau di htiku
Meski cuma harap
Dan damba
nyatanya
SEHARUSNYA
KAU TAU
Kau pasti bisa menghitung
Berapa banyak juma yang jadi makna
Ketika memerah langit senja itu
Saat mengungkap kata
Menjadi makana,
mungkin kau tak bersuara
Pada helaan nafas yang kesekian kali
Pohonan gugurkan daunnya
Dan senja kali ini
Tak seperti hari yang lalu
Pikirku mengembara
Mencati ketika untuk
Kembali bersama
LEMBAYUNG
I
Senja membalut pertemuan kita
Dengan angin yang sedikit
Berhembus
Sementara
Lembayung mewarnai langit
Serupa rona di pipimu
Seketika itu pula
Kau curi rinduku
Hanya dengan senyuman di
Bibirmu
LEMBAYUNG
II
Hari itu
Berkali-kali angin menuntuku
Untuk menatapmu
Dan kau tau,
Telah kulihat surga di matamu
Kini
biarkan aku berjalan
untuk menggapainya
sebab rinduku tak sekedar
selalu menyebut namamu
LEMBAYUNG
III
Dalam dekapan senja
Teratai tertunduk dihembus
angin lalu
matahari kembali tenggelam
dalam pelukan lembayung
dan aku duduk termangu
memandang senyuman itu
Ilalang menari dalam pelukan
Angin meski sedikit ragu untuk
Membagi cerita dengan teratai
Yang tertunduk malu
FATALIS
MENATAP MALAM
DENGAN MATA YANG DIPAKSAKAN TERPEJAM
SAMA SEKALI BUKAN MENJADI
KEPUTUSAN UNTUK MEMILIH
LIUKAN ANGIN
MEMBURU KESENDIRIAN
DENGAN UCAPAN SELAMAT TINGGAL
BULAN SETENGAH SABIT
BINTANG TNPA KILAUAN
DAN LANGIT TERIRIS
KILATAN-KILATAN
GEMURUH MENITIKAN GERIMIS
DIANTARA CEMARA DAN RERUPUTAN KERING
YANG MENJADI LUSUH
Perbatasan
II
Tidak banyak hujan Yang turun ketika
Ufuk merona dan rembulan
Menjadi pucat pasi
Hanya ada Dedaunan kering yang
Menjadi basah dan ranting-ranting
yang semakin lapuk
sementara
lelaki berdiri memandangi kesunyian
dalam petikan dawai kecapi
diantara perasaan dan kenyataan yang
bertabrakan.
Untuk Bapak
(yang berpulang lima hari yang lalu)
Dalam tangis terakhir kutatap wajamu,
Dalam gerimis terakhir ku peluk engkau,
dalam sayatan perihnya luka kau pergi dengan sunyi. #03#2012#
Pelajaran Menyimak
banyak mendengar
sedikit menyimak
banyak menyimak
tidak menyimak
sedikit mendengar tidak mendengar
Pelajaran Menulis
banyak pakai tinta dan kertas
sedikit menulis
Banyak menulis
tidak menulis
sedikit pakai tinta dan kertas
awet tinta dan kertas
Minggu, 24 Juni 2012
Mbeling
(MBELING) Pinter kabalinger -Mudah-mudahan bisa dikatakan MBELING-
Sekedar Bersuara untuk membuka mata dan semoga ada hikmahnya
Tahukah kamu?
Ini puisi
bukan sajak
yang ini dihargai
yang itu diinjak-injak
#Giriloka Arya#12#2012#
Seorang murid bertanya
pada GURU bahasa dan sastera
Pak,
Bolehkah ini
kusebut SAJAK ?
#Giriloka Arya#12#2012#
Masih tak tahukah kamu?
yang ini puisi
nah kalau itu sajak
yang ini dicacimaki
yang itu diacak-acak sampai koyak
#Giriloka Arya#12#2012#
Masih Celana
Dalam celana
Ada celana dalam
Ada dalamnya celana juga
#Giriloka Arya#12/2011
Masih Tentang Celana II
Lelaki:
“aku mau ke surga di
dalamnya celana dalam
yang berwarna merah muda”
Permpuan:
“silahkan saja
Asal bayar tiket
sesuai biayanya”
#Giriloka Arya#12/2011#
Wah masa begitu?
Aturan itu cuma buat rakyat
jangan ngatur penguasa
nanti bisa disiksa
kan celaka
jadinya
#Giriloka Arya#12/2012#
Ini dan Itu
ini mau itu
tapi itu tak ingin ini
ini bilang begitu
eh itu bilang begini
Sepak bola jadi bola sepak
Numpuk ini tak sedikit itu
menyanyi begini mengerutu begitu
#Giriloka Arya#01/2012/#
Cita-cita I
Bikin puisi cukup imajinasi
Bikin skripsi ada transaksi
Jadi sarjana berapa harganya
#Giriloka Arya#01/2012/#
Cita-cita
(bagian II)
Selesai Transaksi skripsi
jadi juga sarjana
sudah kerja
memakai dasi
lupa bercelana
#Giriloka Arya#01#2012#
Cita-cita
(bagian III)
Kuliah jalan-jalan semata
Skripisi tinggal dibeli
yang penting
saat wisuda gagah memakai TOGA
#Giriloka Arya#01#2012#
Cita-cita
(IV)
Mari bikin puisi
sebab skripsi bisa dibeli
makanya jadi sarjana buta aksara
#Giriloka Arya#01#2012#
Anggap saja
Tak usah pusing
Anggap saja ini mbeling
Tak perlu penjelasan yang merepotkan
#Giriloka Arya#12/2011
Prisma Keping Recehan
Nyatanya
ada sisi ketiga
dalam keping mata uang
Ia serupa topeng menutup
borok wajah yang agung
serupa jelaga kata-kata
menutup malam
yang buta
#Giriloka Arya#01/2012
Tentang Cinta I
Suatu hari
Nafsu berbisik pada hati
“Cinta hanya ada
Antara dada dengan paha”
#Giriloka Arya#02/2012
Tentang Cinta II
Kau tahu...
Apa arti cinta sesungguhnya?
“Dia adalah perminan kebutuhan”
Enam tahun lalu saya tulis cerita ini, hanya saja beberapa hari yang
lalu seorang berkata "cerita yang dulu kau tulis kini kau alami
sendiri" . Ya, kisah hidup memang bukan hal yang dapat diprediksi
sebelumnya tapi apakah ini sebuah kebetulan yang disengaja atau bahkan
sangat tidak disengaja, hahahahaha............ lalu saya berguman
"makanya jangan asal tulis cerita!" dan inilah cerita yang dimaksud.
(senja begitu indah, matahari di kaki hangat sinarnya merah merona dengan tebaran awan di sekitarnya. Di tepian sebuah danau bunga-bungan teratai mekar meski tersembunyi dibalik
ilalang. Tak jauh dari tepian danau sebuah kursi taman menghadap ke danau itu disebelahnya berdiri tegak sebuah lampu taman berbentuk bulat. Di sisi lain sebuah bangku taman
membelakangi danau mengahap ke arah lain. Dalam pada itu Rahma duduk di kursi
taman menghadap ke tepian danau dengan wajah yang tertunduk penuh kegelisahan. Sementara
gusti berdiri di tepian telaga membelakangi Rahma sambil menghisap rokok).
Rahma :
(mengangkat mukanya dan
seolah berbicara pada diri sendiri) “Meski kau tersembunyi di balik ilalang
kau tetap mempesonakan aku”.
Gusti :
“Kau berbicara seakan teratai sengaja menyembunyikan sesuatu
darimu (menghisap rokoknya sambil menatap
langit)”.
Rahma :
“Akan tetap ku tunggu sampai tabir ilalang terbuka oleh riak air (penuh keyakinan dan pengharapan meski masih ada ragu dalam ucapannya).
Gusti :
(menghampiri Rahma lalu duduk di sampingnya dan berkata) “Serupa teratai mekar dikala senja,tersembunyi bukan atas keinginan sendiri”
Rahma :
“Tersembunyi karena ia mekar saat senja tiba. Serupa apa yang
terjadi dalam jiwaku (bersandar di pundakGusti).
Hilman :
(berjalan menuju tepiantelaga sambil berkata) “gejolak jiwa tak perlu bersembunyi bila ia memang
ada maka biarkan dia mekar serupa teratai meski saat senja tiba”.
Rahma :
“Tetapi mengapa ia harus hadir saat senja ? mengapa kasih itu datang pada saat satu hati telah mengisi jiwaku ?” (menatap kearah Gusti yang berusaha untuk tetap dingin).
Hilman :
“Tanyakan pada hatinya, sebab kasih dan cinta datang tanpa harus memilih waktu, ia seperti teratai yang kau lihat senja ini. (menoleh pada Rahma dan Gusti)
(Sejenak suasana menjadi hening tanpa suara).
Gusti :
(beranjak dan berdiri melangkah ke tepian telaga).
Hilman :
(melangkah meninggalkan tepian telaga dan kemudian duduk di bangku yang membelakangi telaga dan ketikaberpapasan ia menepuk pundak Gustiseraya berkata) ”jangan biarkan senja ini pergi begitu saja.”
Gusti :
(tersenyum dan kembali menghisap rokok).
Rahma :
“Berapa lama kau akan bertahan di sana tanpa jawaban ? (mencoba untuk tidak terbata-bata)
Gusti :
“Bila harus aku berkata, jujur aku menyayangimu tapi kau bukan untukku begitu pula dengan waktu (seakan melepaskan beban berat menghembuskan asap rokok dari mulutnya)
Hilman :
“Setengah dari sebuah jawaban telah terdengar dengan jelas seperti langit dan rembulan yang merangkai temaram”.
Rahma :
(Tanpa mempedulikan Hilman) “Tapi sisi lain di jiwamu ada untukku meski diselimuti ragu”.
Gusti :
“Itu benar, tapi………
Taya :
“Tapi kau tetap ragu untuk membuka jiwamu meski pikir dan hatimu sebagian telah kau
berikan padanya” (masuk dan mendekati Gusti, menoleh pada Rahma)
Gusti :
(tersentak kaget tapi tetap berusaha untuk tenang )”lebih baik kubiarkan ia mengalir serupa air, waktu
memiliki caranya sendiri untuk menyatukan hati.
Hilman :
“Tapi perasaan dan cinta bukan air yang mengalir” (melangkah pergi)
Taya :
“Kau dengar ? Cinta bukanlah air yang mengalir” (menepuk pundak Gusti kemudian melangkah pergi).
Gusti :
(diam terpaku menatap langit).
Rahma :
(tertunduk dan menitikan air mata).
(suasana kembali hening tanpa suara tanpa percakapan diantara mereka, langit mulai berganti
warna, sementara lampu taman mulai menyala).
Gusti :
“Akankah ada sisi lain di jiwamu untukku” (melangkah mendekati Rahma dan duduk disampingnya)
Rahma : (meletakan kepala di pangkun Gusti) “ia akan tetap ada untuk mu”.
Gusti :
(Dengan lembut membelai rambut Rahma sambil menatap langit). “Jika saja tak harus samar tertutup
ilalang mungkin teratai akan lebih indah”
Rahma :
“Apa yang kau katakan bukanlah hal yang berbeda dengan pikiranku (mengangkat kepala seraya
menatap wajah Gusti diliputi rasa takut kehilangan).
Taya :
(Datang dan kembali duduk
di kursi membelakangi telaga/danau).
Gusti :
“Sebenarnya kita terjebak dalam alur yang sebenarnya tidak harus seperti ini (berdiri kemudian kembali
melangkah ke tepian telaga).
Rahma :
(Diam dan hanya mampu menatap Gusti dan menahan tangis).
Gusti :
“Kau menangis karena ……. (tidak tuntas berbicara karena Rahma semakin larut dalm tangisan dan berkata meskipun terbata-bata)
Rahma :
“Kau tau ? aku selalu menanti saat-saat seperti ini (tidak tuntas bicara)
Gusti :
“Saat kita lebih dalam terjebak dan mengingkari kenyataan ! (menerawang jauh dan tetap berdiri di sisi
telaga)
Taya :
“Lebih dalam terjebak dalam perangkap yang dibuat sendiri lebih sulit kau meninggalkannya.
Gusti :
(Tertunduk dan menghela nafas panjang seakan menyesal kemudian kembali menatap langit)
Rahma :
“Tapi itu kenyataan yang kita hadapi dan mampukah kita berdusta pada kenyataan ?
Gusti :
“Kenyataan yang seharusnya tidak terjadi ?”
Rahma :
“Apa mungkin ini seharusnya tidak terjadi nyatanya ini
benar-benar kenyataan yang harus kita hadapi.
Taya :
“Terjebak dan terkurung dalam perangkap lebih dalam bimbang tak berujung dalam pikiran
antara teman, sahabat dan kekasih atau apapun namanya.
Gusti :
“Kau menangis dan aku terluka oleh kenyataan “
Rahma :
Adakah ini sebuah dosa bila kau menyimpan separuh hatimu di sisi
lain jiwaku dan begitu pula sebaliknya aku”
Gusti :
“Dosa atau apapun namanya tak akan kembalikan malam ini hilang
tanpa kau di pelukanku (menghampiri Rahma kemudian duduk dan membelai rambut Rahma)
Rahma :
(Diam dalam pelukan Gusti dan memejamkan matanya).
Gusti :
“Malam ini kau dalam pelukanku tapi esok dia akan membawamu pergi. “
Rahma :
(mengangkat wajahnya dengan rasa sesal mendengar perkataan Gusti)
“akan selalu ada ruang di hatiku untukmu”
Gusti :
(menghela nafas panjang dan
beranjak kembali meninggalkan Rahma yang diam terpaku) “Pulanglah padanya
biarkan aku sendiri mencumbui bayangmu “
Rhama : (Terpaku dalam penantian yang tanpa kepastian)
Rahma :
“Jika saja setiap kelopak mawar yang kau berikan dapat memberikan jawaban yang lebih pasti” (menyentuh setiap kelopak mawar dengan jari jari tangannya)
Gusti :
“Mungkin Kau benar tetapi bagaimana mungkin membagi pandangan ketika mawar dan teratai mekar dalam waktu yang bersamaan”.
Rahma :
“Tak pernah kuragukan kesetianmu dan kasih yang kau berikan… Aku hanya…
(Tidak tuntas bicara)
(Telaga hening dan semua terdiam Rahma tertunduk dan diam. Sesaat kemudian Hilman datang dan
berjalan di tepian telaga dan berkata )
Hilman :
“Seperti hari yang lalu, rembulan datang dalam gerimis, dan
langit tidak berganti rupa hanya mata kita saja yang tak mampu memandang dalam kegelapan”
Taya :
(Bangkit dan berdiri berjalan menghampiri
Hilman, pada saat mendekati Rahma ia berkata)” lupakan langkah terakhir
dalam hidupmu jelaskan padanya tentang apa yang kau rasakan sejak menatap
temayum langit sore tadi, jangan kau biarkan rembulan kembali datang dalam gerimis (berdiri di tepi telaga dan menerawang jauh ke cakrawala).
Rahma :
“Aku mencintainya lebih dari sekedar aku mencintai seseorang lebih dahulu mengisi
jiwaku begitu pun dengannya dan dia mengetahuinya dengan sepenuh hati”.
Hilman :
(menoleh ke arah Rahma) “Kenyataanya kalian saling mengasihi meski kalian tahu sendiri
tidak mungkin untuk bersatu”
Taya :
(pergi duduk di bangku yang membelakangi danau)
Hilman :
“Lalu apa yang akan kau lakukan dengan semua ini sebab semuanya
tidak akan terselesaikan hanya dengan tangisan’
Rahma :
(berdiri dan mendekati tepian danau lalu duduk di tanah sambil memetik ilalang dan
mempermainkannya) Kau temanku, dan kuau dia sahabatmu sejak dulu……”
Hilman :
“lalu Aapa maksudmu?”
Rahma :
“Kau mengetahui kami saling menjimpan kasih dalam jiwa kami. Aku dan dia serupa
belahan jiwa yang murni oleh kasih meski tak mungkin bersatu…”
Hilman :
“jadi…..?”
Rahma :
“Jangankau biarkan kami tarpisah …”
Hilman :
“kau gila … Mana mungkin itu bisa kulakukan”
Rahma :
(Pergi tanpa mempeduikan Hilman yang sesaat
diam terpaku)
(tepian danau terasa hening kembali beberapa saat kemudian Gusti datang dan berdiri di tepian danau)
Hilman :
“Kau lihat Dia pergi dan menagis saat kau tinggalkan”
Gusti :
“Dan itu yang akan terjadi jika dia meninggalkan aku”
Hilman :
“Itu karena Satu sisi di jiwamu telah kau berikan padanya
begitu pula dengan dia”
Gusti :
“tetapi bila aku harus terus bertahan dengan semua ini apa aku tidak akan menyakiti perempuan lain”
Hilman :
“ Pada sisi yan lain pula satu hati wanita jelas kau sakiti tapi
bila kau berkata tentang hati dan waktu maka waktu memilikicaranya sendiri
untuk menyatukan hati dan itu yang kau katakan padanya.”
Gusti :
(Melangkan duduk di bangku yang menghadap tepian danau)
Taya :
(Beranjak dari tempat duduknya dan melangkan kemudian duduk di dekat Gusti)
”satu sisi jiwamu berada dalam kebimbangan untuk
memilih dan yang lainya berada dalam ketegaran seorang lelaki meski itu kaupaksakan”
Himan :
“sesekali
dalam hidup, kita dihadapkan dalam pilihan meski itu menyakitkan tetapi
hiduptetap harus memilih meski cinta tidak seharunya jadi pilihan.”
(Beranjak pergi meninggalkan Gusti dalam kesendirian sementara itu Taya mengikuti Hilman seraya berkata)
Taya :
“Bertanyalah pada hatimu dengan sepenuh rasa di jiwamu dan jawablah dengan nurani dan logika jika
kau benar menyayanginya”
(Danau sepi malam semakin larut angin bertiup perlahan sementara Gusti diam dalan tannya
untuk mencari jawaban. Dalam pada itu Rahma kembali datang lalu duduk disampin
Gusti sesaat kemudian menyandarkan kepalanya di bahu Gusti daann gusti membelai rambut rahma dengan penuh
kasih)
GIRILOKA ARYA. 050506
(senja begitu indah, matahari di kaki hangat sinarnya merah merona dengan tebaran awan di sekitarnya. Di tepian sebuah danau bunga-bungan teratai mekar meski tersembunyi dibalik
ilalang. Tak jauh dari tepian danau sebuah kursi taman menghadap ke danau itu disebelahnya berdiri tegak sebuah lampu taman berbentuk bulat. Di sisi lain sebuah bangku taman
membelakangi danau mengahap ke arah lain. Dalam pada itu Rahma duduk di kursi
taman menghadap ke tepian danau dengan wajah yang tertunduk penuh kegelisahan. Sementara
gusti berdiri di tepian telaga membelakangi Rahma sambil menghisap rokok).
Rahma :
(mengangkat mukanya dan
seolah berbicara pada diri sendiri) “Meski kau tersembunyi di balik ilalang
kau tetap mempesonakan aku”.
Gusti :
“Kau berbicara seakan teratai sengaja menyembunyikan sesuatu
darimu (menghisap rokoknya sambil menatap
langit)”.
Rahma :
“Akan tetap ku tunggu sampai tabir ilalang terbuka oleh riak air (penuh keyakinan dan pengharapan meski masih ada ragu dalam ucapannya).
Gusti :
(menghampiri Rahma lalu duduk di sampingnya dan berkata) “Serupa teratai mekar dikala senja,tersembunyi bukan atas keinginan sendiri”
Rahma :
“Tersembunyi karena ia mekar saat senja tiba. Serupa apa yang
terjadi dalam jiwaku (bersandar di pundakGusti).
Hilman :
(berjalan menuju tepiantelaga sambil berkata) “gejolak jiwa tak perlu bersembunyi bila ia memang
ada maka biarkan dia mekar serupa teratai meski saat senja tiba”.
Rahma :
“Tetapi mengapa ia harus hadir saat senja ? mengapa kasih itu datang pada saat satu hati telah mengisi jiwaku ?” (menatap kearah Gusti yang berusaha untuk tetap dingin).
Hilman :
“Tanyakan pada hatinya, sebab kasih dan cinta datang tanpa harus memilih waktu, ia seperti teratai yang kau lihat senja ini. (menoleh pada Rahma dan Gusti)
(Sejenak suasana menjadi hening tanpa suara).
Gusti :
(beranjak dan berdiri melangkah ke tepian telaga).
Hilman :
(melangkah meninggalkan tepian telaga dan kemudian duduk di bangku yang membelakangi telaga dan ketikaberpapasan ia menepuk pundak Gustiseraya berkata) ”jangan biarkan senja ini pergi begitu saja.”
Gusti :
(tersenyum dan kembali menghisap rokok).
Rahma :
“Berapa lama kau akan bertahan di sana tanpa jawaban ? (mencoba untuk tidak terbata-bata)
Gusti :
“Bila harus aku berkata, jujur aku menyayangimu tapi kau bukan untukku begitu pula dengan waktu (seakan melepaskan beban berat menghembuskan asap rokok dari mulutnya)
Hilman :
“Setengah dari sebuah jawaban telah terdengar dengan jelas seperti langit dan rembulan yang merangkai temaram”.
Rahma :
(Tanpa mempedulikan Hilman) “Tapi sisi lain di jiwamu ada untukku meski diselimuti ragu”.
Gusti :
“Itu benar, tapi………
Taya :
“Tapi kau tetap ragu untuk membuka jiwamu meski pikir dan hatimu sebagian telah kau
berikan padanya” (masuk dan mendekati Gusti, menoleh pada Rahma)
Gusti :
(tersentak kaget tapi tetap berusaha untuk tenang )”lebih baik kubiarkan ia mengalir serupa air, waktu
memiliki caranya sendiri untuk menyatukan hati.
Hilman :
“Tapi perasaan dan cinta bukan air yang mengalir” (melangkah pergi)
Taya :
“Kau dengar ? Cinta bukanlah air yang mengalir” (menepuk pundak Gusti kemudian melangkah pergi).
Gusti :
(diam terpaku menatap langit).
Rahma :
(tertunduk dan menitikan air mata).
(suasana kembali hening tanpa suara tanpa percakapan diantara mereka, langit mulai berganti
warna, sementara lampu taman mulai menyala).
Gusti :
“Akankah ada sisi lain di jiwamu untukku” (melangkah mendekati Rahma dan duduk disampingnya)
Rahma : (meletakan kepala di pangkun Gusti) “ia akan tetap ada untuk mu”.
Gusti :
(Dengan lembut membelai rambut Rahma sambil menatap langit). “Jika saja tak harus samar tertutup
ilalang mungkin teratai akan lebih indah”
Rahma :
“Apa yang kau katakan bukanlah hal yang berbeda dengan pikiranku (mengangkat kepala seraya
menatap wajah Gusti diliputi rasa takut kehilangan).
Taya :
(Datang dan kembali duduk
di kursi membelakangi telaga/danau).
Gusti :
“Sebenarnya kita terjebak dalam alur yang sebenarnya tidak harus seperti ini (berdiri kemudian kembali
melangkah ke tepian telaga).
Rahma :
(Diam dan hanya mampu menatap Gusti dan menahan tangis).
Gusti :
“Kau menangis karena ……. (tidak tuntas berbicara karena Rahma semakin larut dalm tangisan dan berkata meskipun terbata-bata)
Rahma :
“Kau tau ? aku selalu menanti saat-saat seperti ini (tidak tuntas bicara)
Gusti :
“Saat kita lebih dalam terjebak dan mengingkari kenyataan ! (menerawang jauh dan tetap berdiri di sisi
telaga)
Taya :
“Lebih dalam terjebak dalam perangkap yang dibuat sendiri lebih sulit kau meninggalkannya.
Gusti :
(Tertunduk dan menghela nafas panjang seakan menyesal kemudian kembali menatap langit)
Rahma :
“Tapi itu kenyataan yang kita hadapi dan mampukah kita berdusta pada kenyataan ?
Gusti :
“Kenyataan yang seharusnya tidak terjadi ?”
Rahma :
“Apa mungkin ini seharusnya tidak terjadi nyatanya ini
benar-benar kenyataan yang harus kita hadapi.
Taya :
“Terjebak dan terkurung dalam perangkap lebih dalam bimbang tak berujung dalam pikiran
antara teman, sahabat dan kekasih atau apapun namanya.
Gusti :
“Kau menangis dan aku terluka oleh kenyataan “
Rahma :
Adakah ini sebuah dosa bila kau menyimpan separuh hatimu di sisi
lain jiwaku dan begitu pula sebaliknya aku”
Gusti :
“Dosa atau apapun namanya tak akan kembalikan malam ini hilang
tanpa kau di pelukanku (menghampiri Rahma kemudian duduk dan membelai rambut Rahma)
Rahma :
(Diam dalam pelukan Gusti dan memejamkan matanya).
Gusti :
“Malam ini kau dalam pelukanku tapi esok dia akan membawamu pergi. “
Rahma :
(mengangkat wajahnya dengan rasa sesal mendengar perkataan Gusti)
“akan selalu ada ruang di hatiku untukmu”
Gusti :
(menghela nafas panjang dan
beranjak kembali meninggalkan Rahma yang diam terpaku) “Pulanglah padanya
biarkan aku sendiri mencumbui bayangmu “
Rhama : (Terpaku dalam penantian yang tanpa kepastian)
Rahma :
“Jika saja setiap kelopak mawar yang kau berikan dapat memberikan jawaban yang lebih pasti” (menyentuh setiap kelopak mawar dengan jari jari tangannya)
Gusti :
“Mungkin Kau benar tetapi bagaimana mungkin membagi pandangan ketika mawar dan teratai mekar dalam waktu yang bersamaan”.
Rahma :
“Tak pernah kuragukan kesetianmu dan kasih yang kau berikan… Aku hanya…
(Tidak tuntas bicara)
(Telaga hening dan semua terdiam Rahma tertunduk dan diam. Sesaat kemudian Hilman datang dan
berjalan di tepian telaga dan berkata )
Hilman :
“Seperti hari yang lalu, rembulan datang dalam gerimis, dan
langit tidak berganti rupa hanya mata kita saja yang tak mampu memandang dalam kegelapan”
Taya :
(Bangkit dan berdiri berjalan menghampiri
Hilman, pada saat mendekati Rahma ia berkata)” lupakan langkah terakhir
dalam hidupmu jelaskan padanya tentang apa yang kau rasakan sejak menatap
temayum langit sore tadi, jangan kau biarkan rembulan kembali datang dalam gerimis (berdiri di tepi telaga dan menerawang jauh ke cakrawala).
Rahma :
“Aku mencintainya lebih dari sekedar aku mencintai seseorang lebih dahulu mengisi
jiwaku begitu pun dengannya dan dia mengetahuinya dengan sepenuh hati”.
Hilman :
(menoleh ke arah Rahma) “Kenyataanya kalian saling mengasihi meski kalian tahu sendiri
tidak mungkin untuk bersatu”
Taya :
(pergi duduk di bangku yang membelakangi danau)
Hilman :
“Lalu apa yang akan kau lakukan dengan semua ini sebab semuanya
tidak akan terselesaikan hanya dengan tangisan’
Rahma :
(berdiri dan mendekati tepian danau lalu duduk di tanah sambil memetik ilalang dan
mempermainkannya) Kau temanku, dan kuau dia sahabatmu sejak dulu……”
Hilman :
“lalu Aapa maksudmu?”
Rahma :
“Kau mengetahui kami saling menjimpan kasih dalam jiwa kami. Aku dan dia serupa
belahan jiwa yang murni oleh kasih meski tak mungkin bersatu…”
Hilman :
“jadi…..?”
Rahma :
“Jangankau biarkan kami tarpisah …”
Hilman :
“kau gila … Mana mungkin itu bisa kulakukan”
Rahma :
(Pergi tanpa mempeduikan Hilman yang sesaat
diam terpaku)
(tepian danau terasa hening kembali beberapa saat kemudian Gusti datang dan berdiri di tepian danau)
Hilman :
“Kau lihat Dia pergi dan menagis saat kau tinggalkan”
Gusti :
“Dan itu yang akan terjadi jika dia meninggalkan aku”
Hilman :
“Itu karena Satu sisi di jiwamu telah kau berikan padanya
begitu pula dengan dia”
Gusti :
“tetapi bila aku harus terus bertahan dengan semua ini apa aku tidak akan menyakiti perempuan lain”
Hilman :
“ Pada sisi yan lain pula satu hati wanita jelas kau sakiti tapi
bila kau berkata tentang hati dan waktu maka waktu memilikicaranya sendiri
untuk menyatukan hati dan itu yang kau katakan padanya.”
Gusti :
(Melangkan duduk di bangku yang menghadap tepian danau)
Taya :
(Beranjak dari tempat duduknya dan melangkan kemudian duduk di dekat Gusti)
”satu sisi jiwamu berada dalam kebimbangan untuk
memilih dan yang lainya berada dalam ketegaran seorang lelaki meski itu kaupaksakan”
Himan :
“sesekali
dalam hidup, kita dihadapkan dalam pilihan meski itu menyakitkan tetapi
hiduptetap harus memilih meski cinta tidak seharunya jadi pilihan.”
(Beranjak pergi meninggalkan Gusti dalam kesendirian sementara itu Taya mengikuti Hilman seraya berkata)
Taya :
“Bertanyalah pada hatimu dengan sepenuh rasa di jiwamu dan jawablah dengan nurani dan logika jika
kau benar menyayanginya”
(Danau sepi malam semakin larut angin bertiup perlahan sementara Gusti diam dalan tannya
untuk mencari jawaban. Dalam pada itu Rahma kembali datang lalu duduk disampin
Gusti sesaat kemudian menyandarkan kepalanya di bahu Gusti daann gusti membelai rambut rahma dengan penuh
kasih)
GIRILOKA ARYA. 050506
Langganan:
Postingan (Atom)